Minggu, 22 April 2012

Sejarah Perikanan


1. Perikanan pada masa Neolithikum pada periode 3000-2000 SM pada suku Wajak 
Neolithikum yaitu suatu peradaban pada tingkat atau fase kebudayaan pada zaman pra-sejarah yang merupakan pada zaman tersebut belum terdapat suatu peninggalan sejarah berupa tulisan, akan tetapi peninggalan tersebut berupa batu, selain itu pada zaman ini sudah dikenal adanya pertanian pengelolaan lahan. 
Wajakinensis merupakan suatu ras pada zaman Neolithikum yang teknologi sudah maju yaitu penggunaan alat untuk berburu berupa batu yang sudah diasah. Pada masa Wajakinesis dikenal dengan masa praaksara. Dimana pada masa tersebut manusia purba menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan bahan makanan. 
Secara spesifik wajakinesis merupakan ras dari homo sapiens dimana manusia purba maju dengan peradaban yang lebih baik dari masa manusia purba sebelumnya. Disebutkan oleh beberapa sumber bahwa manusia purba Wajakinesis merupakan keturunan dari manusia purba Autralia. Pada zaman ini, di daratan Indonesia terbentuk paparan Sunda dan paparan Sahul, dimana paparan Sunda menghubungkan Indonesia dengan benua Asia sedangkan paparan Sahul menghubungkan Indonesia dengan Benua Australia. Paparan Sunda dan Sahul dikarenakan pada saat itu di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita. 
Keadaan pada masa paaksara tersebut sangat dipengaruhi oleh topografi dan perubahan iklim bumi diamna hal tersebut dapat mempengaruhi dampak kelimpahan sumber daya alam pada saat itu. Perubahan iklim atau perubahan topografi itu sendiri diakibatkan adanya orogenesis yaitu gerakan pengangkatan kulit bumi , erosi yang diakibatkan oleh pengikisan kulit bumi akibat angin dan aliran air, dan vulkanisme dari aktivasi gerakan lempeng bumi yang mengakibatkan lahar gunung meletus ke daratan. 
Kehidupan manusia purba Wajakinesis selain mengumpulkan makanan dari alam tetapi juga berburu. Sehingga mereka sangat bergantung terhadap alam dan ilkim. Khusunya peranan perikanan sebagai suatu kebutuhan pangan. Manusia Wajakinesis juga sudah mengenal tombak sebagai suatu alat berburu. 
Peninggalan pada masa manusia Wajakinesis juga berupa gua gua sebagai tempat berlindung mereka dari cuaca iklim yang tidak menentu dan serangan hewan buas. Didapat suatu peninggalan dalam gua tersebut berbagai alat-alat seperti tulang, batu, tanduk dan erang kerang dari perairan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia Wajakinesis pada saat itu sudah mengenal konsumsi hasil perairan berupa ikan atau kerang-kerangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Manusia wajak kebanyakan tinggal di daerah selatan Pulau Jawa dekat dengan khatulistiwa dan bertempat tinggal di dekat pesisir pantai. Manusia Wajak mengenal sumber daya alam perikanan sebagai mata pencaharian kebutuhan pangan pada saat itu, mereka mengkonsumsi ikan kerang-kerangan. Manusia Wajak bertempat tinggal dekat khatulistika disebabkan pada masa itu tejadi empat kali perubahan zaman es, dan kedaan Indonesiapada saat itu beriklim hujan yang berkepanjangan. 
Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di dekatnya. 
Manusia purba Wajakinesis memasuki Indonesia pada ± 2000 SM. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ± tahun 500 SM. 
Perubahan iklim dan topografi bumi yang terjadi baik diakibatkan karena erosi, pengangkatan kulit bumi dan vulkanis gunung berapi pada saat itu mengakibatkan perubahan zaman dan migrasi manusia purba pada saat itu. Letusan gunung berapi seperti Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Dompo mengakibatkan permukaan bumi naik baik daratan dan perairan sehingga menimbulkan tsunami yang sangat besar, sehingga mengakibatkan kelimpahan dan keanekaragaman perairan terganggu. Persitiwa tersebut membuat dampak pada tata kehidupan manusia purba,sehingga manusia Wajinesis melakukan migrasi besar-besaran. Manusia Wajak juga dikenal dikenal dengan pelaut karena berani mengaruhi samudra luas dengan hanya menggunakan perahu berupa sampan. 

2. Sejarah perdagangan etnis suku Bajini, Makasar pada abad 15 dan 16 
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe). 
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. 
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia. 
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah. 
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia. Perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Peradaban Kuno 
Sejarah perikanan merupakan suatu proses perjalanan panjang dari suatu peristiwa dimana hal tersebut terjadi di masa lampau dan memiliki pengaruh terhadap perkembangannya di masa sekarang ini. Sejarah perikanan di Inonesia mengalami perkembangan significant dimana perkembangan tersebut terjadi sejak zaman pra-sejarah hingga modern dan memiliki peranan penting terhadap keadaan perikanan di zaman globalisasi ini. Perkebangan tersebut diantara lain dari sector ekonomi, politik, teknologi penanganan hasil perikanan, industri perikanan, dan juga social masyarakat. 
Umumnya perikanan tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia dikarenakan perikanan memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomis tersebut diantara lain sebagai bahan pangan masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu perikanan tumbuh di sekitar masyarakat pesisir dimana pada waktu itu kebutuhan pangan dari hasil perikanan di dapat dari penangkapan ikan di laut dengan teknologi yang primitive yaitu alat tangkap yang terbuat dari bambu atau jaring dari bahan serat tumbuhan, dan mengalami perkembangan budidaya ikan. Pada abad ke 15-16 terdapat beberapa kelompok perintis perdagangan teripang dan throcus yaitu suku Bajini,Makasar,Bugis, dan Bajo. Sedangkan di wilayah timur sudah ada perdagangan mutiara pada tahun 1870-1900. Lokasi Indonesia yang merupakan jalur perdagangan dari laut oleh bangsa eropa memungkinkan bahwa Indonesia memiliki pelabuhan strategis yang dimanfaatkan sebagai alur kegiatan perdagangan perikanan pada saat itu. Pada zaman kuno juga terjadi hasil perikanan berupa ikan, kerang, atau lainnya dijadikan alat pertukaran (barter) untuk menukarkan sesuatu yang sama bernilainya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan lainnya. 
Mayarakat Inonesia semakin bertambah demikian pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat, hal ini memiliki dampak terhadap perkembangan perikanan di Inodonesia. Nilai kebutuhan pangan perikanan terhadap masyarakat Indonesia berkembang menjadi kegiatan perikanan ke arah komersial dengan tujuan menyalurkan atau menyuplai hasil perikanan ke wilayah-wilayah terpelosok dari wilayah pesisir dengan teknologi penanganan perikanan yaitu pengawetan. Untuk menjaga sumber daya alam perikanan tetap stabil dimana jumlah produksitivitas sumber daya perikanan tetap sama dengan eksploitasi sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan . Pengelolaan tersebut menjadi usaha budidaya ikan dan industri pengolahan hasil perikanan 
Perkembangan perikanan yang bermula pada suatu kebutuhan pangan dan berkembang menjadi budidaya dan pengolahan, pengawetan, industry, dan kemajuan teknologi akan menghasilkan pengaruh besar terhadap ekonomi, social, politik, dan hokum. Sehingga tidak hanya menjadi perikanan dalam skala local di Inonesia tetapi menjadi globalisasi perikanan dunia. 

3. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa penjajahan 
Dibukanya suatu perdagangan laut melalui pelabuhan yang terdapat di Selat Malaka memungkin suatu perdagangan di dekat pelabuhan dengan menggunakan hasil laut perikanan untuk diperdagangkan. 
Jatuhnya konstatinopel pada abad lalu memutuskannya jalur darat ke perdagangan timur, sehingga Bangsa Eropa memiliki jalur alternative perdagangan dengan menggunakan jalur Laut. 
Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia diawali oleh Bangsa Portugis. Bangsa Eropa memonopoli rempah-rempah dan hasil alam launnya baik pertanian, perkebunan, dan tentunya dalam bidang perikanan. 
Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di Gresik dan kolam-­ kolam ikan di Jawa Barat. 
Pada masa penjajahan kolonial Belanda usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157 Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396 Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai. 

4. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa kemerdekaan 
Perkembangan ekonomi perikanan pada masa kemerdekaan tidak terlalu maju secara significant, hal tersebut dikarenakan pemerintah Indonesia sendiri membuat suatu rencana dan aturan turan hukum yang baru sesuai dengan pengamalan Pancasila setelah terbebas dari penjajahan Belanda. Hukum dan aturan tersebut ditujukan untuk pembangunan dan pengaturan ekonomi perikanan di Indonesia kedepannya secara berkelanjutan. 

5. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa orde baru 
Pada masa zaman orde baru pada pemerintahan Soeharto dititik beratkan dengan pembangunan pertanian, kelautan, perairan, peternakan. Hal ini diwujudkan agar selepas dari penjajahan Belanda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 diwujudkan Bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang mandiri. 
Beberapa pembanganan dan kebijakan pada masa orde baru dengan menetapkan Pembangunana Jangka Panjang (PJP) pada bidang pertanian, kelautan, perairan, dan peternakan. Pembanguanan perikanan atau pengairan suatu upaya memanfaatkan sumber daya lahan dan air, serta sumber daya hayati secara produktif dengan berkelanjutan. Hal tersebut tertera pada perundanganundangan di Indonesia yaitu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang perikanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan. 
Pada masa orde baru, pengelolaan perikanan, pembangunan ditunjukan untuk memperbaiki secara aspek kehidupan perekonomian bangsa secara murni dan konsekuen pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 dengan mengupayakan usaha stabilisasi dan rehabilitasi, pembentukan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan devisa negara. 
Pada masa sebelum Orde Baru pembangunan perikanan berkembang sangat lambat. Daerah penangkapan ikan yang sangat luas belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat gizi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa. Kondisi nelayan dan kehidupan masyarakat desa pantai juga sangat memprihatinkan. 
Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). 
Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. 
Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara. 
Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi. 
Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang­undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC). 
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perlakuan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan azas manfaat, peradilan, kemitraan, pemerataan, keterbukaan, keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. 
Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4 kali menjadi 2,9 juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat 5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor perikanan sekitar 2,1 juta orang. 

6. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa era-reformasi 
Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 37 persen. 
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran 30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan mencapai 560 buah. 
Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 2,5 per sen. Namun peran sektor ini dalam pembangunan bangsa sejatinya cukup signifikan. Jumlah nelayan dan petani ikan yang hidup tersebar di seluruh Nusantara sebanyak 3,7 juta dan 1,8 juta orang. Sementara itu, saudara-saudara kita yang bekerja di berbagai sektor penunjang perikanan, seperti industri peralatan dan mesin perikanan, industri pakan ikan, galangan kapal, pabrik es, cold storage, industri pengolahan hasil perikanan, jasa transportasi dan keuangan, mencapai 1,5 juta orang. Devisa yang dihasilkan dari ekspor produk perikanan juga lumayan besar, sekitar US$ 2,5 miliar setiap tahunnya. Belum lagi, peran saudara-saudara nelayan kita yang turut menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah laut Indonesia. 
Produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2,74%, yaitu pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton bertambah menjadi 4.468.010 ton (2006). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, produksi tahun 2006 87,27% dari JTB. Kenaikan jumlah nelayan berflukuasi hingga pada tahun 2000 mencapai 2.486.456 jiwa, menurun menjadi 2.060.620 jiwa (2006). Jumlah produksi perikanan tangkap di laut disebabkan bertambahnya armada tangkap nasional. Perode 2000-2006 jumlah perahu mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,74%, yaitu 449.558 hingga 555.950. 
Pada tataran global, Indonesia juga merupakan salah satu kekuatan utama perikanan dunia. Pasalnya, dari total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut dunia sebesar 90 juta ton/tahun, sekitar 7,5% (6,4 juta ton/tahun) terdapat di wilayah laut Indonesia. Kalau pada 1999 (sebelum ada DKP) Indonesia merupakan produsen ikan terbesar ketujuh di dunia, maka sejak 2004 hingga kini bertengger pada posisi kelima dengan total produksi 7,5 juta ton per tahun (FAO, 2008). Lebih dari itu, sebagai pusat segi tiga karang dunia dan lokasi pertukaran dua masa arus laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebailknya, laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) yang sangat menentukan kelestarian produksi perikanan laut dunia. 
Sebelum era Reformasi, perhatian kita terhadap bidang kelautan, khususnya perikanan, sangatlah rendah. Selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, kredit perbankan yang dikucurkan untuk usaha perikanan hanya sebesar 0,02% dari total kredit usaha. Pada tahun 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. 
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan (4 pelabuhan perikanan samudera dan 13 pelabuhan perikanan nusantara). Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai. Cara-cara kita mengelola perikanan pun pada umumnya kurang profesional dengan penerapan IPTEK yang rendah, tidak terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, eksploitatif dan kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya ikan serta ekosistemnya, dan cenderung membiarkan penjarahan ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing. 
Ketidakseriusan dalam mengelola sektor perikanan itu telah mengakibatkan mayoritas nelayan (60%) terlilit kemiskinan; praktek illegal fishing merajalela dengan kerugian negara sedikitnya US$ 4 miliar/tahun; beberapa stok ikan di berbagai wilayah perairan seperti Selat Malaka, Pantura, Selat Bali, dan Selatan Sulawesi mengalami overfishing; perikanan budidaya tidak berkembang optimal; dan industri pengolahan hasil perikanan kurang berdaya saing.

(Perikanan) UNPAD

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah boleh tau refrensi, yang digunakan ?

Posting Komentar

Minggu, 22 April 2012

Sejarah Perikanan

Diposting oleh rahma tri benita di 10.01

1. Perikanan pada masa Neolithikum pada periode 3000-2000 SM pada suku Wajak 
Neolithikum yaitu suatu peradaban pada tingkat atau fase kebudayaan pada zaman pra-sejarah yang merupakan pada zaman tersebut belum terdapat suatu peninggalan sejarah berupa tulisan, akan tetapi peninggalan tersebut berupa batu, selain itu pada zaman ini sudah dikenal adanya pertanian pengelolaan lahan. 
Wajakinensis merupakan suatu ras pada zaman Neolithikum yang teknologi sudah maju yaitu penggunaan alat untuk berburu berupa batu yang sudah diasah. Pada masa Wajakinesis dikenal dengan masa praaksara. Dimana pada masa tersebut manusia purba menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan bahan makanan. 
Secara spesifik wajakinesis merupakan ras dari homo sapiens dimana manusia purba maju dengan peradaban yang lebih baik dari masa manusia purba sebelumnya. Disebutkan oleh beberapa sumber bahwa manusia purba Wajakinesis merupakan keturunan dari manusia purba Autralia. Pada zaman ini, di daratan Indonesia terbentuk paparan Sunda dan paparan Sahul, dimana paparan Sunda menghubungkan Indonesia dengan benua Asia sedangkan paparan Sahul menghubungkan Indonesia dengan Benua Australia. Paparan Sunda dan Sahul dikarenakan pada saat itu di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita. 
Keadaan pada masa paaksara tersebut sangat dipengaruhi oleh topografi dan perubahan iklim bumi diamna hal tersebut dapat mempengaruhi dampak kelimpahan sumber daya alam pada saat itu. Perubahan iklim atau perubahan topografi itu sendiri diakibatkan adanya orogenesis yaitu gerakan pengangkatan kulit bumi , erosi yang diakibatkan oleh pengikisan kulit bumi akibat angin dan aliran air, dan vulkanisme dari aktivasi gerakan lempeng bumi yang mengakibatkan lahar gunung meletus ke daratan. 
Kehidupan manusia purba Wajakinesis selain mengumpulkan makanan dari alam tetapi juga berburu. Sehingga mereka sangat bergantung terhadap alam dan ilkim. Khusunya peranan perikanan sebagai suatu kebutuhan pangan. Manusia Wajakinesis juga sudah mengenal tombak sebagai suatu alat berburu. 
Peninggalan pada masa manusia Wajakinesis juga berupa gua gua sebagai tempat berlindung mereka dari cuaca iklim yang tidak menentu dan serangan hewan buas. Didapat suatu peninggalan dalam gua tersebut berbagai alat-alat seperti tulang, batu, tanduk dan erang kerang dari perairan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia Wajakinesis pada saat itu sudah mengenal konsumsi hasil perairan berupa ikan atau kerang-kerangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Manusia wajak kebanyakan tinggal di daerah selatan Pulau Jawa dekat dengan khatulistiwa dan bertempat tinggal di dekat pesisir pantai. Manusia Wajak mengenal sumber daya alam perikanan sebagai mata pencaharian kebutuhan pangan pada saat itu, mereka mengkonsumsi ikan kerang-kerangan. Manusia Wajak bertempat tinggal dekat khatulistika disebabkan pada masa itu tejadi empat kali perubahan zaman es, dan kedaan Indonesiapada saat itu beriklim hujan yang berkepanjangan. 
Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di dekatnya. 
Manusia purba Wajakinesis memasuki Indonesia pada ± 2000 SM. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ± tahun 500 SM. 
Perubahan iklim dan topografi bumi yang terjadi baik diakibatkan karena erosi, pengangkatan kulit bumi dan vulkanis gunung berapi pada saat itu mengakibatkan perubahan zaman dan migrasi manusia purba pada saat itu. Letusan gunung berapi seperti Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Dompo mengakibatkan permukaan bumi naik baik daratan dan perairan sehingga menimbulkan tsunami yang sangat besar, sehingga mengakibatkan kelimpahan dan keanekaragaman perairan terganggu. Persitiwa tersebut membuat dampak pada tata kehidupan manusia purba,sehingga manusia Wajinesis melakukan migrasi besar-besaran. Manusia Wajak juga dikenal dikenal dengan pelaut karena berani mengaruhi samudra luas dengan hanya menggunakan perahu berupa sampan. 

2. Sejarah perdagangan etnis suku Bajini, Makasar pada abad 15 dan 16 
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe). 
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. 
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia. 
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah. 
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia. Perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Peradaban Kuno 
Sejarah perikanan merupakan suatu proses perjalanan panjang dari suatu peristiwa dimana hal tersebut terjadi di masa lampau dan memiliki pengaruh terhadap perkembangannya di masa sekarang ini. Sejarah perikanan di Inonesia mengalami perkembangan significant dimana perkembangan tersebut terjadi sejak zaman pra-sejarah hingga modern dan memiliki peranan penting terhadap keadaan perikanan di zaman globalisasi ini. Perkebangan tersebut diantara lain dari sector ekonomi, politik, teknologi penanganan hasil perikanan, industri perikanan, dan juga social masyarakat. 
Umumnya perikanan tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia dikarenakan perikanan memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomis tersebut diantara lain sebagai bahan pangan masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu perikanan tumbuh di sekitar masyarakat pesisir dimana pada waktu itu kebutuhan pangan dari hasil perikanan di dapat dari penangkapan ikan di laut dengan teknologi yang primitive yaitu alat tangkap yang terbuat dari bambu atau jaring dari bahan serat tumbuhan, dan mengalami perkembangan budidaya ikan. Pada abad ke 15-16 terdapat beberapa kelompok perintis perdagangan teripang dan throcus yaitu suku Bajini,Makasar,Bugis, dan Bajo. Sedangkan di wilayah timur sudah ada perdagangan mutiara pada tahun 1870-1900. Lokasi Indonesia yang merupakan jalur perdagangan dari laut oleh bangsa eropa memungkinkan bahwa Indonesia memiliki pelabuhan strategis yang dimanfaatkan sebagai alur kegiatan perdagangan perikanan pada saat itu. Pada zaman kuno juga terjadi hasil perikanan berupa ikan, kerang, atau lainnya dijadikan alat pertukaran (barter) untuk menukarkan sesuatu yang sama bernilainya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan lainnya. 
Mayarakat Inonesia semakin bertambah demikian pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat, hal ini memiliki dampak terhadap perkembangan perikanan di Inodonesia. Nilai kebutuhan pangan perikanan terhadap masyarakat Indonesia berkembang menjadi kegiatan perikanan ke arah komersial dengan tujuan menyalurkan atau menyuplai hasil perikanan ke wilayah-wilayah terpelosok dari wilayah pesisir dengan teknologi penanganan perikanan yaitu pengawetan. Untuk menjaga sumber daya alam perikanan tetap stabil dimana jumlah produksitivitas sumber daya perikanan tetap sama dengan eksploitasi sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan . Pengelolaan tersebut menjadi usaha budidaya ikan dan industri pengolahan hasil perikanan 
Perkembangan perikanan yang bermula pada suatu kebutuhan pangan dan berkembang menjadi budidaya dan pengolahan, pengawetan, industry, dan kemajuan teknologi akan menghasilkan pengaruh besar terhadap ekonomi, social, politik, dan hokum. Sehingga tidak hanya menjadi perikanan dalam skala local di Inonesia tetapi menjadi globalisasi perikanan dunia. 

3. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa penjajahan 
Dibukanya suatu perdagangan laut melalui pelabuhan yang terdapat di Selat Malaka memungkin suatu perdagangan di dekat pelabuhan dengan menggunakan hasil laut perikanan untuk diperdagangkan. 
Jatuhnya konstatinopel pada abad lalu memutuskannya jalur darat ke perdagangan timur, sehingga Bangsa Eropa memiliki jalur alternative perdagangan dengan menggunakan jalur Laut. 
Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia diawali oleh Bangsa Portugis. Bangsa Eropa memonopoli rempah-rempah dan hasil alam launnya baik pertanian, perkebunan, dan tentunya dalam bidang perikanan. 
Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di Gresik dan kolam-­ kolam ikan di Jawa Barat. 
Pada masa penjajahan kolonial Belanda usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157 Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396 Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai. 

4. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa kemerdekaan 
Perkembangan ekonomi perikanan pada masa kemerdekaan tidak terlalu maju secara significant, hal tersebut dikarenakan pemerintah Indonesia sendiri membuat suatu rencana dan aturan turan hukum yang baru sesuai dengan pengamalan Pancasila setelah terbebas dari penjajahan Belanda. Hukum dan aturan tersebut ditujukan untuk pembangunan dan pengaturan ekonomi perikanan di Indonesia kedepannya secara berkelanjutan. 

5. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa orde baru 
Pada masa zaman orde baru pada pemerintahan Soeharto dititik beratkan dengan pembangunan pertanian, kelautan, perairan, peternakan. Hal ini diwujudkan agar selepas dari penjajahan Belanda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 diwujudkan Bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang mandiri. 
Beberapa pembanganan dan kebijakan pada masa orde baru dengan menetapkan Pembangunana Jangka Panjang (PJP) pada bidang pertanian, kelautan, perairan, dan peternakan. Pembanguanan perikanan atau pengairan suatu upaya memanfaatkan sumber daya lahan dan air, serta sumber daya hayati secara produktif dengan berkelanjutan. Hal tersebut tertera pada perundanganundangan di Indonesia yaitu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang perikanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan. 
Pada masa orde baru, pengelolaan perikanan, pembangunan ditunjukan untuk memperbaiki secara aspek kehidupan perekonomian bangsa secara murni dan konsekuen pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 dengan mengupayakan usaha stabilisasi dan rehabilitasi, pembentukan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan devisa negara. 
Pada masa sebelum Orde Baru pembangunan perikanan berkembang sangat lambat. Daerah penangkapan ikan yang sangat luas belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat gizi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa. Kondisi nelayan dan kehidupan masyarakat desa pantai juga sangat memprihatinkan. 
Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). 
Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. 
Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara. 
Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi. 
Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang­undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC). 
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perlakuan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan azas manfaat, peradilan, kemitraan, pemerataan, keterbukaan, keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. 
Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4 kali menjadi 2,9 juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat 5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor perikanan sekitar 2,1 juta orang. 

6. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa era-reformasi 
Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 37 persen. 
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran 30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan mencapai 560 buah. 
Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 2,5 per sen. Namun peran sektor ini dalam pembangunan bangsa sejatinya cukup signifikan. Jumlah nelayan dan petani ikan yang hidup tersebar di seluruh Nusantara sebanyak 3,7 juta dan 1,8 juta orang. Sementara itu, saudara-saudara kita yang bekerja di berbagai sektor penunjang perikanan, seperti industri peralatan dan mesin perikanan, industri pakan ikan, galangan kapal, pabrik es, cold storage, industri pengolahan hasil perikanan, jasa transportasi dan keuangan, mencapai 1,5 juta orang. Devisa yang dihasilkan dari ekspor produk perikanan juga lumayan besar, sekitar US$ 2,5 miliar setiap tahunnya. Belum lagi, peran saudara-saudara nelayan kita yang turut menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah laut Indonesia. 
Produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2,74%, yaitu pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton bertambah menjadi 4.468.010 ton (2006). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, produksi tahun 2006 87,27% dari JTB. Kenaikan jumlah nelayan berflukuasi hingga pada tahun 2000 mencapai 2.486.456 jiwa, menurun menjadi 2.060.620 jiwa (2006). Jumlah produksi perikanan tangkap di laut disebabkan bertambahnya armada tangkap nasional. Perode 2000-2006 jumlah perahu mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,74%, yaitu 449.558 hingga 555.950. 
Pada tataran global, Indonesia juga merupakan salah satu kekuatan utama perikanan dunia. Pasalnya, dari total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut dunia sebesar 90 juta ton/tahun, sekitar 7,5% (6,4 juta ton/tahun) terdapat di wilayah laut Indonesia. Kalau pada 1999 (sebelum ada DKP) Indonesia merupakan produsen ikan terbesar ketujuh di dunia, maka sejak 2004 hingga kini bertengger pada posisi kelima dengan total produksi 7,5 juta ton per tahun (FAO, 2008). Lebih dari itu, sebagai pusat segi tiga karang dunia dan lokasi pertukaran dua masa arus laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebailknya, laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) yang sangat menentukan kelestarian produksi perikanan laut dunia. 
Sebelum era Reformasi, perhatian kita terhadap bidang kelautan, khususnya perikanan, sangatlah rendah. Selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, kredit perbankan yang dikucurkan untuk usaha perikanan hanya sebesar 0,02% dari total kredit usaha. Pada tahun 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. 
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan (4 pelabuhan perikanan samudera dan 13 pelabuhan perikanan nusantara). Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai. Cara-cara kita mengelola perikanan pun pada umumnya kurang profesional dengan penerapan IPTEK yang rendah, tidak terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, eksploitatif dan kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya ikan serta ekosistemnya, dan cenderung membiarkan penjarahan ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing. 
Ketidakseriusan dalam mengelola sektor perikanan itu telah mengakibatkan mayoritas nelayan (60%) terlilit kemiskinan; praktek illegal fishing merajalela dengan kerugian negara sedikitnya US$ 4 miliar/tahun; beberapa stok ikan di berbagai wilayah perairan seperti Selat Malaka, Pantura, Selat Bali, dan Selatan Sulawesi mengalami overfishing; perikanan budidaya tidak berkembang optimal; dan industri pengolahan hasil perikanan kurang berdaya saing.

(Perikanan) UNPAD

1 komentar on "Sejarah Perikanan"

Unknown on 26 Februari 2017 pukul 04.31 mengatakan...

Apakah boleh tau refrensi, yang digunakan ?

Posting Komentar

 
Powered by Blogger