Minggu, 29 April 2012

who is he? older memorize? :D

Selasa, 24 April 2012

for someone special




I really miss him,  What women should know a men who truly loves you will never let you go, no matter how hard the situation is.
What a men should know a women who truly loves you will be angry at you for many things, but will stick around.

But now maybe you never beside me for everything. But i still waiting you.

Love you .. isan :)

Minggu, 22 April 2012

Perkembangan Sejarah Perikanan di Indonesia

a. Zaman suku Wajak
Periode Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai Wajak hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia Wajak adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah Wajak, Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang paling arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya melahirkan populasi aktual Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan tahun silan oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah timur Indonesia.

b. Sekitar Abad 15 dan 16
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Di mana ada laut, maka di sanalah suku bajo itu mencari nafkah, dengan bernelayan.

c. 1400an-1600an: “Age of Commerce”
Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting di periode ini, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.

d. 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram;
2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman.
3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan.
Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.

e. Awal kemerdekaan dan akhir Orde Lama
Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%.
Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya , konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.

f. Orde Baru
Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.

g. Pasca Reformasi
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.

h. Pola Pertumbuhan dan Kebutuhan Akan Pengelolaan
Pertumbuhan perikanan dalam jangka waktu 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis (Tabel 2). Pertumbuhan yang tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak terlepas dari upaya untuk medorong perikanan sebagai salah satu penggerak ekonomi, walaupun produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun. Sementara, pertumbuhan produksi yang tinggi selama orde baru terjadi pada era pertenggahan 1970an sampai awal 1980an akibat pesatnya motorisasi perikanan yang mencapai rata-rata di atas 15% per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus dibayar dengan berbagai konflik. Pertumbuhan produksi dua periode terakhir orde baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui produksi perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua periode ini (masing-masing -0,3%). Periode tahun 1999-2001 juga tidak terlalu berbeda jauh. Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin terbatas untuk pertumbuhan secara berkelanjutan ekonomi pesisir.
Hasil analisis data FAOSTAT juga menunjukkan pola pertumbuhan produksi perikanan Indonesia dengan kecenderungan yang hampir sama, menurun terutama pada periode terakhir 1996-2001 (2,9%) (periode 1999-2001 hanya 1,9% per tahun). 
Kini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI.
Transformasi struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap ikan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura.


Sejarah Perikanan


1. Perikanan pada masa Neolithikum pada periode 3000-2000 SM pada suku Wajak 
Neolithikum yaitu suatu peradaban pada tingkat atau fase kebudayaan pada zaman pra-sejarah yang merupakan pada zaman tersebut belum terdapat suatu peninggalan sejarah berupa tulisan, akan tetapi peninggalan tersebut berupa batu, selain itu pada zaman ini sudah dikenal adanya pertanian pengelolaan lahan. 
Wajakinensis merupakan suatu ras pada zaman Neolithikum yang teknologi sudah maju yaitu penggunaan alat untuk berburu berupa batu yang sudah diasah. Pada masa Wajakinesis dikenal dengan masa praaksara. Dimana pada masa tersebut manusia purba menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan bahan makanan. 
Secara spesifik wajakinesis merupakan ras dari homo sapiens dimana manusia purba maju dengan peradaban yang lebih baik dari masa manusia purba sebelumnya. Disebutkan oleh beberapa sumber bahwa manusia purba Wajakinesis merupakan keturunan dari manusia purba Autralia. Pada zaman ini, di daratan Indonesia terbentuk paparan Sunda dan paparan Sahul, dimana paparan Sunda menghubungkan Indonesia dengan benua Asia sedangkan paparan Sahul menghubungkan Indonesia dengan Benua Australia. Paparan Sunda dan Sahul dikarenakan pada saat itu di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita. 
Keadaan pada masa paaksara tersebut sangat dipengaruhi oleh topografi dan perubahan iklim bumi diamna hal tersebut dapat mempengaruhi dampak kelimpahan sumber daya alam pada saat itu. Perubahan iklim atau perubahan topografi itu sendiri diakibatkan adanya orogenesis yaitu gerakan pengangkatan kulit bumi , erosi yang diakibatkan oleh pengikisan kulit bumi akibat angin dan aliran air, dan vulkanisme dari aktivasi gerakan lempeng bumi yang mengakibatkan lahar gunung meletus ke daratan. 
Kehidupan manusia purba Wajakinesis selain mengumpulkan makanan dari alam tetapi juga berburu. Sehingga mereka sangat bergantung terhadap alam dan ilkim. Khusunya peranan perikanan sebagai suatu kebutuhan pangan. Manusia Wajakinesis juga sudah mengenal tombak sebagai suatu alat berburu. 
Peninggalan pada masa manusia Wajakinesis juga berupa gua gua sebagai tempat berlindung mereka dari cuaca iklim yang tidak menentu dan serangan hewan buas. Didapat suatu peninggalan dalam gua tersebut berbagai alat-alat seperti tulang, batu, tanduk dan erang kerang dari perairan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia Wajakinesis pada saat itu sudah mengenal konsumsi hasil perairan berupa ikan atau kerang-kerangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Manusia wajak kebanyakan tinggal di daerah selatan Pulau Jawa dekat dengan khatulistiwa dan bertempat tinggal di dekat pesisir pantai. Manusia Wajak mengenal sumber daya alam perikanan sebagai mata pencaharian kebutuhan pangan pada saat itu, mereka mengkonsumsi ikan kerang-kerangan. Manusia Wajak bertempat tinggal dekat khatulistika disebabkan pada masa itu tejadi empat kali perubahan zaman es, dan kedaan Indonesiapada saat itu beriklim hujan yang berkepanjangan. 
Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di dekatnya. 
Manusia purba Wajakinesis memasuki Indonesia pada ± 2000 SM. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ± tahun 500 SM. 
Perubahan iklim dan topografi bumi yang terjadi baik diakibatkan karena erosi, pengangkatan kulit bumi dan vulkanis gunung berapi pada saat itu mengakibatkan perubahan zaman dan migrasi manusia purba pada saat itu. Letusan gunung berapi seperti Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Dompo mengakibatkan permukaan bumi naik baik daratan dan perairan sehingga menimbulkan tsunami yang sangat besar, sehingga mengakibatkan kelimpahan dan keanekaragaman perairan terganggu. Persitiwa tersebut membuat dampak pada tata kehidupan manusia purba,sehingga manusia Wajinesis melakukan migrasi besar-besaran. Manusia Wajak juga dikenal dikenal dengan pelaut karena berani mengaruhi samudra luas dengan hanya menggunakan perahu berupa sampan. 

2. Sejarah perdagangan etnis suku Bajini, Makasar pada abad 15 dan 16 
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe). 
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. 
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia. 
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah. 
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia. Perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Peradaban Kuno 
Sejarah perikanan merupakan suatu proses perjalanan panjang dari suatu peristiwa dimana hal tersebut terjadi di masa lampau dan memiliki pengaruh terhadap perkembangannya di masa sekarang ini. Sejarah perikanan di Inonesia mengalami perkembangan significant dimana perkembangan tersebut terjadi sejak zaman pra-sejarah hingga modern dan memiliki peranan penting terhadap keadaan perikanan di zaman globalisasi ini. Perkebangan tersebut diantara lain dari sector ekonomi, politik, teknologi penanganan hasil perikanan, industri perikanan, dan juga social masyarakat. 
Umumnya perikanan tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia dikarenakan perikanan memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomis tersebut diantara lain sebagai bahan pangan masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu perikanan tumbuh di sekitar masyarakat pesisir dimana pada waktu itu kebutuhan pangan dari hasil perikanan di dapat dari penangkapan ikan di laut dengan teknologi yang primitive yaitu alat tangkap yang terbuat dari bambu atau jaring dari bahan serat tumbuhan, dan mengalami perkembangan budidaya ikan. Pada abad ke 15-16 terdapat beberapa kelompok perintis perdagangan teripang dan throcus yaitu suku Bajini,Makasar,Bugis, dan Bajo. Sedangkan di wilayah timur sudah ada perdagangan mutiara pada tahun 1870-1900. Lokasi Indonesia yang merupakan jalur perdagangan dari laut oleh bangsa eropa memungkinkan bahwa Indonesia memiliki pelabuhan strategis yang dimanfaatkan sebagai alur kegiatan perdagangan perikanan pada saat itu. Pada zaman kuno juga terjadi hasil perikanan berupa ikan, kerang, atau lainnya dijadikan alat pertukaran (barter) untuk menukarkan sesuatu yang sama bernilainya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan lainnya. 
Mayarakat Inonesia semakin bertambah demikian pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat, hal ini memiliki dampak terhadap perkembangan perikanan di Inodonesia. Nilai kebutuhan pangan perikanan terhadap masyarakat Indonesia berkembang menjadi kegiatan perikanan ke arah komersial dengan tujuan menyalurkan atau menyuplai hasil perikanan ke wilayah-wilayah terpelosok dari wilayah pesisir dengan teknologi penanganan perikanan yaitu pengawetan. Untuk menjaga sumber daya alam perikanan tetap stabil dimana jumlah produksitivitas sumber daya perikanan tetap sama dengan eksploitasi sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan . Pengelolaan tersebut menjadi usaha budidaya ikan dan industri pengolahan hasil perikanan 
Perkembangan perikanan yang bermula pada suatu kebutuhan pangan dan berkembang menjadi budidaya dan pengolahan, pengawetan, industry, dan kemajuan teknologi akan menghasilkan pengaruh besar terhadap ekonomi, social, politik, dan hokum. Sehingga tidak hanya menjadi perikanan dalam skala local di Inonesia tetapi menjadi globalisasi perikanan dunia. 

3. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa penjajahan 
Dibukanya suatu perdagangan laut melalui pelabuhan yang terdapat di Selat Malaka memungkin suatu perdagangan di dekat pelabuhan dengan menggunakan hasil laut perikanan untuk diperdagangkan. 
Jatuhnya konstatinopel pada abad lalu memutuskannya jalur darat ke perdagangan timur, sehingga Bangsa Eropa memiliki jalur alternative perdagangan dengan menggunakan jalur Laut. 
Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia diawali oleh Bangsa Portugis. Bangsa Eropa memonopoli rempah-rempah dan hasil alam launnya baik pertanian, perkebunan, dan tentunya dalam bidang perikanan. 
Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di Gresik dan kolam-­ kolam ikan di Jawa Barat. 
Pada masa penjajahan kolonial Belanda usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157 Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396 Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai. 

4. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa kemerdekaan 
Perkembangan ekonomi perikanan pada masa kemerdekaan tidak terlalu maju secara significant, hal tersebut dikarenakan pemerintah Indonesia sendiri membuat suatu rencana dan aturan turan hukum yang baru sesuai dengan pengamalan Pancasila setelah terbebas dari penjajahan Belanda. Hukum dan aturan tersebut ditujukan untuk pembangunan dan pengaturan ekonomi perikanan di Indonesia kedepannya secara berkelanjutan. 

5. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa orde baru 
Pada masa zaman orde baru pada pemerintahan Soeharto dititik beratkan dengan pembangunan pertanian, kelautan, perairan, peternakan. Hal ini diwujudkan agar selepas dari penjajahan Belanda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 diwujudkan Bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang mandiri. 
Beberapa pembanganan dan kebijakan pada masa orde baru dengan menetapkan Pembangunana Jangka Panjang (PJP) pada bidang pertanian, kelautan, perairan, dan peternakan. Pembanguanan perikanan atau pengairan suatu upaya memanfaatkan sumber daya lahan dan air, serta sumber daya hayati secara produktif dengan berkelanjutan. Hal tersebut tertera pada perundanganundangan di Indonesia yaitu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang perikanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan. 
Pada masa orde baru, pengelolaan perikanan, pembangunan ditunjukan untuk memperbaiki secara aspek kehidupan perekonomian bangsa secara murni dan konsekuen pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 dengan mengupayakan usaha stabilisasi dan rehabilitasi, pembentukan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan devisa negara. 
Pada masa sebelum Orde Baru pembangunan perikanan berkembang sangat lambat. Daerah penangkapan ikan yang sangat luas belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat gizi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa. Kondisi nelayan dan kehidupan masyarakat desa pantai juga sangat memprihatinkan. 
Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). 
Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. 
Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara. 
Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi. 
Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang­undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC). 
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perlakuan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan azas manfaat, peradilan, kemitraan, pemerataan, keterbukaan, keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. 
Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4 kali menjadi 2,9 juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat 5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor perikanan sekitar 2,1 juta orang. 

6. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa era-reformasi 
Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 37 persen. 
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran 30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan mencapai 560 buah. 
Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 2,5 per sen. Namun peran sektor ini dalam pembangunan bangsa sejatinya cukup signifikan. Jumlah nelayan dan petani ikan yang hidup tersebar di seluruh Nusantara sebanyak 3,7 juta dan 1,8 juta orang. Sementara itu, saudara-saudara kita yang bekerja di berbagai sektor penunjang perikanan, seperti industri peralatan dan mesin perikanan, industri pakan ikan, galangan kapal, pabrik es, cold storage, industri pengolahan hasil perikanan, jasa transportasi dan keuangan, mencapai 1,5 juta orang. Devisa yang dihasilkan dari ekspor produk perikanan juga lumayan besar, sekitar US$ 2,5 miliar setiap tahunnya. Belum lagi, peran saudara-saudara nelayan kita yang turut menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah laut Indonesia. 
Produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2,74%, yaitu pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton bertambah menjadi 4.468.010 ton (2006). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, produksi tahun 2006 87,27% dari JTB. Kenaikan jumlah nelayan berflukuasi hingga pada tahun 2000 mencapai 2.486.456 jiwa, menurun menjadi 2.060.620 jiwa (2006). Jumlah produksi perikanan tangkap di laut disebabkan bertambahnya armada tangkap nasional. Perode 2000-2006 jumlah perahu mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,74%, yaitu 449.558 hingga 555.950. 
Pada tataran global, Indonesia juga merupakan salah satu kekuatan utama perikanan dunia. Pasalnya, dari total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut dunia sebesar 90 juta ton/tahun, sekitar 7,5% (6,4 juta ton/tahun) terdapat di wilayah laut Indonesia. Kalau pada 1999 (sebelum ada DKP) Indonesia merupakan produsen ikan terbesar ketujuh di dunia, maka sejak 2004 hingga kini bertengger pada posisi kelima dengan total produksi 7,5 juta ton per tahun (FAO, 2008). Lebih dari itu, sebagai pusat segi tiga karang dunia dan lokasi pertukaran dua masa arus laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebailknya, laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) yang sangat menentukan kelestarian produksi perikanan laut dunia. 
Sebelum era Reformasi, perhatian kita terhadap bidang kelautan, khususnya perikanan, sangatlah rendah. Selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, kredit perbankan yang dikucurkan untuk usaha perikanan hanya sebesar 0,02% dari total kredit usaha. Pada tahun 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. 
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan (4 pelabuhan perikanan samudera dan 13 pelabuhan perikanan nusantara). Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai. Cara-cara kita mengelola perikanan pun pada umumnya kurang profesional dengan penerapan IPTEK yang rendah, tidak terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, eksploitatif dan kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya ikan serta ekosistemnya, dan cenderung membiarkan penjarahan ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing. 
Ketidakseriusan dalam mengelola sektor perikanan itu telah mengakibatkan mayoritas nelayan (60%) terlilit kemiskinan; praktek illegal fishing merajalela dengan kerugian negara sedikitnya US$ 4 miliar/tahun; beberapa stok ikan di berbagai wilayah perairan seperti Selat Malaka, Pantura, Selat Bali, dan Selatan Sulawesi mengalami overfishing; perikanan budidaya tidak berkembang optimal; dan industri pengolahan hasil perikanan kurang berdaya saing.

(Perikanan) UNPAD

100 reason why brad pitt still love jen

brad pitt love jennifer aniston for 8 years ago

Sabtu, 21 April 2012

A story " Bai Fang Li"

The world is beautiful when we share each other, the world will be peaceful when we respect one of other, the story of someone who has the generosity and not thinking of himself to the world that he dreamed.  Kisah Bai Fang Li ini saya harap menjadi pelajaran hidup bagi kita semua untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan, walaupun hidup serba pas-pasan tetapi tetap membantu orang tanpa pamrih


Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak ada. Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.


Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.


Tersentuh…
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Tak Menuntut Apapun…
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.
saya menyebutnya sebagai orang tersukses di dunia adalah karena beliau berguna bagi orang orang di sekitarnya,karena menurut saya sukses itu bukan seberapa berlimpahkah harta atau jabatan yang kita punya melainkan,seberapa bergunanya kita bagi orang lain disekitar kita,terima kasih dan selamat malam

i like Jon Schmidt because he is make a beautifull song in his own ways :) cek it out guys, enjoyed :)

Bioekonomi Perikanan ??

Bioekonomi merupakan suatu kajian khusus dimana diperlukan beberapa aspek antara lain ekonomi dan biologi. Aspek biologi itu sendiri diperlukan konsep laju pertumbuhan alami ikan dimana laju pertumbuhan dipengaruhi oleh titik keseimbangan daya dukung lingkungan atau biasanya disebut dengan K carrying capacity. Aspek kedua tersebut harus berkesinambungan satu sama lain untuk mengetahui analisis tingkat kelestarian sumber daya alam khususnya perikanan (rente ekonomi) sehingga diperoleh kebijakan atau pengelolaan sumber daya ikan secara tepat dan efisien. Sumber daya ikan khususnya perikanan merupakan sumber daya alam yang bersifat dapat pulih atau flows akan tetapi jika sumber daya alam tersebut terus tereksploitasi atau diekstraksi terus menurus akan menjadi sumber daya alam yang bersifat stock terbatas ketersediannya di perairan. Sifat dari perikanan kedua adalah bersifat open acces dan tidak dapat terlihat secara jelas ketersediaanya di lingkungan perairan. Bersifat oppen acces karena sumber daya tersebut bersifat public owners dimana hak dari sumber daya alam tersebut dapat terlihat secara jelas apabila sumber daya tersebut ditangkap. Secara sistematik kurva pertumbuhan ikan dimana, laju pertumbuhan ikan atau r besarnya tergantung dengan dinamika stok ikan itu sendri sebelumnya. Secara rumus adalah r = (Xt+1-Xt)/Xt. Laju pertumbuhan perikanan naik seimbang dengan penurunan (decline) laju pertumbuhan tersebut. Dimana laju pertumbuhan ½ dari titik kesetimbangan carrying capacity. Akibat penangkapan sebesar h maka laju pertumbuhan dapat terbaca. Daya tangkap dr eksploitasi sda dibawah kurva pertumbuhan akan mengakibatkan stock ikan masih di titik stabil, sebaliknya jika penangkapan diatas dr laju pertumbuhan sda. Teori Gordon Schaefer yaitu aplikasi antara teori biologi dan ekonomi. Dimana jika effort atau upaya tangkap ikan sebesar E tidak seimbang dengan hasil tangkapan. Sebagai contoh jika effort dinaikan maka h atau catch tidak setinggi dengan pada h di titik msy tetapi jika effort di titik mey atau maksimum economic yield maka h catch lebih besar dibandingkan pada titik OA (Oppen acces) dan MSY (Maximum Sustainable Yield) sehingga ditimbulkan rente ekonomi yang optimal. Rente sendiri merupakan selisih antara ph dan cE. Pajak atau fax ditujukan untuk memaksimalkan h pada titik MEY sehingga pajak atau kurva TC dinaikan sebesat Etax. Pajak tersebut adalah pajak terhadap input sedangkan jika pajak terhadap output maka tangkapan direndahkan sebesar h tax.

William James Sidis

Orang Terpintar di Dunia Bukan Einstein, Bukan Thomas Alva Edison. Tapi ialah William James Sidis. Pria berkewarganegaraan Amerika serikat. IQnya lebih dari IQ 250. William James Sidis Lahir pada 1 April 1898 dengan kemampuan matematika dan linguistik luar biasa. Ia menjadi yang pertama terkenal karena hal dewasa sebelum waktunya, dan kemudian untuk eksentrisitas dan penarikan dari mata publik. Dia menghindari matematika sepenuhnya di kemudian hari, menulis pada mata pelajaran lainnya berdasarkan sejumlah nama samaran.  Mengapa ia kurang dikenal dunia? Orang ini memang terlalu pintar. Ketika baru berusia 11 tahun, Ia sudah masuk Universitas. Ia menjadi siswa termuda di Universitas Harvard. Seumur hidupnya, Sidis telah menguasai 200 bahasa di Dunia. Bahkan, Ia menghafal 1 jenis bahasa secara keseluruhan hanya dalam waktu 1 hari. Kepintarannya yang luar biasa membuatnya gila. Ia tak punya teman atau pacar. Bahkan ia pergi dari rumah, meninggalkan keluarganya dan mengasingkan diri. Ia meninggal pada usia 46 tahun dalam keadaan menganggur, terasingkan, dan amat miskin.


Berikut Kisah orang terpintar di dunia William James Sidis



Keluarga dan Pendidikan (1898-1909)William James Sidis dilahirkan untuk imigran Ukraina Yahudi pada tanggal 1 April 1898, di New York City. Ayahnya Boris Sidis, Ph.D., MD, telah beremigrasi pada tahun 1887 untuk menghindari penganiayaan politik. Ibunya Sarah Mandelbaum Sidis, MD, dan keluarganya telah melarikan diri dari pogrom pada tahun 1889. Sarah dihadiri Boston University dan lulus dari Sekolah Kedokteran pada tahun 1897. Boris meraih gelar di Harvard University, dan psikologi mengajar di sana. Dia adalah seorang psikiater, dan diterbitkan berbagai buku dan artikel, melakukan pekerjaan perintis dalam psikologi abnormal. Boris adalah seorang poliglot dan putranya William akan menjadi salah satu di usia muda.

Sidis bisa membaca New York Times di 18 bulan, dan telah dilaporkan belajar sendiri delapan bahasa (Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia) pada usia delapan tahun, dan menemukan yang lain, yang ia sebut Vendergood. (Harvard dan kehidupan kampus :1909-1915)pada usia sembilan tahun sidis di tolak pendaftarannya sebagai mahasiswa oleh universitas karena dia masih anak-anak, Meskipun Universitas sebelumnya menolak ayahnya untuk mendaftarkan sidis, tetapi pada tahun 1909 dengan menjadi orang termuda untuk mendaftar di Harvard College. pada saat itu sidis berumur 11 tahun, dan masuk ke Harvard University sebagai siswa program berbakat awal. dalam program ini adalah kelompok eksperimen termasuk matematikawan Norbert Wiener, Richard Buckminster Fuller, dan komposer Roger Sesi. Pada tahun 1910 awal, penguasaan Sidis tentang matematika yang lebih tinggi sehingga dia mengajar Matematika Harvard Club pada tubuh empat-dimensi MIT profesor Daniel F. Comstock. Memprediksi bahwa Sidis akan menjadi seorang matematikawan besar dan pemimpin dalam ilmu yang di masa depan. Sidis mulai mengambil beban program studi penuh waktu pada tahun 1910 dan memperoleh gelar Sarjana Seni, cum laude, pada tanggal 18 Juni 1914, pada usia 16.Tak lama setelah lulus, Sidis mengatakan kepada wartawan bahwa ia ingin menjalani hidup yang sempurna, yang menurutnya berarti hidup dalam pengasingan. hal ini disampaikan pada wawancara kepada wartawan dari Boston Herald. Makalah ini melaporkan Sidis's sumpah untuk tetap hidup sendiri dan tidak pernah menikah, ketika ia berkata perempuan tidak menarik bagi dia. Kemudian ia mengembangkan kasih sayang yang kuat untuk seorang wanita muda bernama Martha Foley. Ia kemudian mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and Sciences.

Pengajaran dan pendidikan lebih lanjut (1915-1919)Setelah sekelompok mahasiswa Harvard terancam kemampuan Sidis, kemudian dia bekerja di Institut William Marsh Rice untuk Kemajuan Sastra, Sains, dan Seni (sekarang Rice University) di Houston, Texas sebagai asisten mengajar matematika. Ia tiba di Rice pada bulan Desember tahun 1915 di usia 17. Dia adalah seorang pria lulusan bekerja untuk gelar doktornya.Sidis mengajar tiga kelas: geometri Euclidean, geometri non-Euclidean, dan trigonometri (dia menulis sebuah buku untuk kursus geometri Euclid dalam bahasa Yunani). Setelah kurang dari satu tahun, sidi frustrasi dengan departemen, persyaratan mengajar, dan perlakuan oleh mahasiswa lebih tua dari dia, Sidis meninggalkan posnya dan kembali ke New England. kepergiannya dikarenakan kebingungannya yang disebabkan tidak ada tempat bertanya bagi Sidis. Sidis meninggalkan pekerjaannya dan mengejar suatu gelar sarjana dalam matematika dan terdaftar di Harvard Law School pada bulan September 1916, namun mengundurkan diri dalam performa dan nilai yang baik di tahun terakhir di bulan Maret 1919. Politik dan penangkapan (1919-1921)Pada tahun 1919, tak lama setelah penarikan dari sekolah hukum, Sidis ditangkap karena berpartisipasi dalam parade Hari sosialis Mei di Boston yang berubah menjadi kekerasan. Dia dijatuhi hukuman 18 bulan penjara berdasarkan Undang-Undang penghasutan tahun 1918. Penangkapan Sidis menonjol di surat kabar, sebagai awal lulus dari Harvard mengumpulkan selebriti lokal yang cukup. dan selama persidangan, Sidis menyatakan bahwa ia telah menjadi penentang teliti dari rancangan Perang Dunia I, ateis, dan seorang sosialis (Dia kemudian mengembangkan sendiri filosofi kekuasaan "libertarianisme" berdasarkan pada hak-hak individu. dan kelangsungan sosial di Amerika.

Ayah sidis diperintahkan oleh jaksa wilayah untuk menjaga Sidis setelah keluar dari penjara sebelum banding ke pengadilan. orang tua sidis menahannya di sanatorium di New Hampshire untuk 1 tahun. dan kemudian Mereka membawanya ke California, di mana dia menghabiskan satu tahun lagi. Sementara di sanatoriumOrang tuanya mengatur tentang perubahan pada diri Sidis dan mengancam Sidis dengan transfer ke sebuah rumah sakit jiwa.

Akhir kehidupan Sidis (1921-1944)Setelah kembali ke Pantai Timur pada tahun 1921, Sidis memutuskan untuk menjalani hidup mandiri dan pribadi. Dia hanya mengambil bekerja menjalankan mesin menambahkan atau tugas-tugas yang cukup kasar lainnya. Dia bekerja di New York City dan menjadi terasing jauh dari orang tuanya. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum ia dibebaskan secara hukum untuk kembali ke Massachusetts, dan ia prihatin tentang risiko nya penangkapan selama bertahun-tahun. kemudian Sidis mengumpulkan transfer trem, majalah diterbitkan, dan mengajarkan lingkaran kecil teman-teman tertarik versi tentang sejarah Amerika..Pada tahun 1944, Sidis memenangkan penyelesaian dari The New Yorker untuk sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1937. Dia telah dituduhkan itu berisi laporan palsu. dengan judul "Where Are (Mereka Sekarang)?". Artikel pseudonim menggambarkan kehidupan Sidis sebagai kesepian, dalam sebuah kamar tidur ruang di Akhir kumuh Selatan Boston. Lower pengadilan setelah Sidis diberhentikan sebagai tokoh publik dengan tidak berhak untuk menantang publisitas pribadi. Ia kehilangan banding atas invasi privasi gugatan di Amerika Serikat Pengadilan Banding untuk Sirkuit Kedua pada tahun 1940 atas artikel yang sama. Hakim Charles Edward Clark menyatakan simpati untuk Sidis-yang mengklaim bahwa publikasi telah terkena dia untuk ejekan publik menghina, dan penghinaan dan menyebabkan dia menderita beban mental karena penghinaan. kemudian sidis mengungkapkan bahwa pengadilan tidak untuk hal kehidupan pribadi yang memiliki kekebalan absolut dari pada hanya mencongkel pers.

Beberapa hasil karya Sidis adalah tulisan-tulisan tentang kosmologi, untuk sejarah Amerika India, taksonomi komprehensif dan definitif transfer kendaraan (sebuah studi yang sama yang komprehensif dari teknik sipil dan kendaraan) dan beberapa teks yang hilang baik dibuktikan pada antropologi, filologi, dan sistem transportasi, Sidis meliputi luas berbagai mata pelajaran. Beberapa ide-idenya yang bersangkutan berbaliknya kosmologis, kontinuitas sosial, dan tentang hak-hak individu di Amerika Serikat.Dalam Animate dan mati (1925), Sidis meramalkan adanya daerah ruang dimana hukum kedua termodinamika dioperasikan secara terbalik dengan arah temporal yang kita alami di daerah lokal. Semuanya di luar apa yang sekarang kita sebut galaksi itu akan menjadi seperti suatu daerah. Sidis mengklaim bahwa masalah di wilayah ini tidak akan menghasilkan cahaya. (Ini bagian gelap alam semesta tidak benar materi gelap atau lubang hitam seperti yang biasa digunakan dalam kosmologi kontemporer.) Ini bekerja pada kosmologi, berdasarkan teori reversibilitas dari hukum kedua termodinamika adalah ini adalah satu-satunya buku diterbitkan di bawah namanya. Sidis The suku dan Amerika (1935) menggunakan nama samaran "John W. Shattuck," memberikan sejarah tahun 100.000 penduduk Amerika Utara, dari zaman prasejarah sampai 1828. Dalam teks ini, ia menunjukkan bahwa "ada laki-laki merah pada satu waktu di Eropa maupun di Amerika ".Sidis juga seorang "peridromophile," istilah yang dia diciptakan untuk orang-orang terpesona dengan penelitian transportasi dan sistem trem. Dia menulis sebuah risalah pada transfer trem dengan nama samaran dari "Frank Folupa" yang diidentifikasi berarti peningkatan penggunaan transportasi umum.Pada tahun 1930, Sidis mendapat paten untuk kalender abadi berputar yang mengambil ke dalam tahun kabisat akun. Pada Saat Sidis dewasa diperkirakan bahwa ia bisa berbicara lebih dari empat puluh bahasa, dan belajar bahasa baru dalam satu hari.

Karya lainnya adalah Sidis menciptakan sebuah bahasa terkonstruksi disebut Vendergood dalam buku kedua, berjudul Kitab Vendergood yang ditulisnya pada usia delapan. Bahasa sebagian besar didasarkan pada Latin dan Yunani, tetapi juga menarik pada Jerman dan Perancis dan lainnya Romance languages Ini dibedakan antara delapan konjugasi berbeda yaitu indikatif, potensi, keharusan mutlak, subjungtif, imperatif, infinitive, optatif, dan Sidis sendiri strongeable. Vendergood dipekerjakan basis-12 sistem angka, karena, seperti Sidis menjelaskan, "Unit dalam menjual sesuatu adalah 12 dari puluhan dan 12 adalah jumlah terkecil yang memiliki empat faktor!"

Orang Terpintar di Dunia - William James Sidis meninggal pada tahun 1944 karena pendarahan otak di Boston pada usia 46 Tahun. Sidis meninggal karena penyakit yang sama menimpa Ayahnya pada tahun 1923 pada usia 56 Tahun.

Minggu, 29 April 2012

Diposting oleh rahma tri benita di 08.53 0 komentar
who is he? older memorize? :D

Selasa, 24 April 2012

for someone special

Diposting oleh rahma tri benita di 04.12 2 komentar



I really miss him,  What women should know a men who truly loves you will never let you go, no matter how hard the situation is.
What a men should know a women who truly loves you will be angry at you for many things, but will stick around.

But now maybe you never beside me for everything. But i still waiting you.

Love you .. isan :)

Minggu, 22 April 2012

Perkembangan Sejarah Perikanan di Indonesia

Diposting oleh rahma tri benita di 10.07 3 komentar
a. Zaman suku Wajak
Periode Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai Wajak hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia Wajak adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah Wajak, Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang paling arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya melahirkan populasi aktual Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan tahun silan oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah timur Indonesia.

b. Sekitar Abad 15 dan 16
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Di mana ada laut, maka di sanalah suku bajo itu mencari nafkah, dengan bernelayan.

c. 1400an-1600an: “Age of Commerce”
Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting di periode ini, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.

d. 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram;
2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman.
3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan.
Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.

e. Awal kemerdekaan dan akhir Orde Lama
Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%.
Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya , konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.

f. Orde Baru
Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.

g. Pasca Reformasi
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.

h. Pola Pertumbuhan dan Kebutuhan Akan Pengelolaan
Pertumbuhan perikanan dalam jangka waktu 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis (Tabel 2). Pertumbuhan yang tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak terlepas dari upaya untuk medorong perikanan sebagai salah satu penggerak ekonomi, walaupun produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun. Sementara, pertumbuhan produksi yang tinggi selama orde baru terjadi pada era pertenggahan 1970an sampai awal 1980an akibat pesatnya motorisasi perikanan yang mencapai rata-rata di atas 15% per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus dibayar dengan berbagai konflik. Pertumbuhan produksi dua periode terakhir orde baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui produksi perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua periode ini (masing-masing -0,3%). Periode tahun 1999-2001 juga tidak terlalu berbeda jauh. Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin terbatas untuk pertumbuhan secara berkelanjutan ekonomi pesisir.
Hasil analisis data FAOSTAT juga menunjukkan pola pertumbuhan produksi perikanan Indonesia dengan kecenderungan yang hampir sama, menurun terutama pada periode terakhir 1996-2001 (2,9%) (periode 1999-2001 hanya 1,9% per tahun). 
Kini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI.
Transformasi struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap ikan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura.


Sejarah Perikanan

Diposting oleh rahma tri benita di 10.01 1 komentar

1. Perikanan pada masa Neolithikum pada periode 3000-2000 SM pada suku Wajak 
Neolithikum yaitu suatu peradaban pada tingkat atau fase kebudayaan pada zaman pra-sejarah yang merupakan pada zaman tersebut belum terdapat suatu peninggalan sejarah berupa tulisan, akan tetapi peninggalan tersebut berupa batu, selain itu pada zaman ini sudah dikenal adanya pertanian pengelolaan lahan. 
Wajakinensis merupakan suatu ras pada zaman Neolithikum yang teknologi sudah maju yaitu penggunaan alat untuk berburu berupa batu yang sudah diasah. Pada masa Wajakinesis dikenal dengan masa praaksara. Dimana pada masa tersebut manusia purba menggunakan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan bahan makanan. 
Secara spesifik wajakinesis merupakan ras dari homo sapiens dimana manusia purba maju dengan peradaban yang lebih baik dari masa manusia purba sebelumnya. Disebutkan oleh beberapa sumber bahwa manusia purba Wajakinesis merupakan keturunan dari manusia purba Autralia. Pada zaman ini, di daratan Indonesia terbentuk paparan Sunda dan paparan Sahul, dimana paparan Sunda menghubungkan Indonesia dengan benua Asia sedangkan paparan Sahul menghubungkan Indonesia dengan Benua Australia. Paparan Sunda dan Sahul dikarenakan pada saat itu di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita. 
Keadaan pada masa paaksara tersebut sangat dipengaruhi oleh topografi dan perubahan iklim bumi diamna hal tersebut dapat mempengaruhi dampak kelimpahan sumber daya alam pada saat itu. Perubahan iklim atau perubahan topografi itu sendiri diakibatkan adanya orogenesis yaitu gerakan pengangkatan kulit bumi , erosi yang diakibatkan oleh pengikisan kulit bumi akibat angin dan aliran air, dan vulkanisme dari aktivasi gerakan lempeng bumi yang mengakibatkan lahar gunung meletus ke daratan. 
Kehidupan manusia purba Wajakinesis selain mengumpulkan makanan dari alam tetapi juga berburu. Sehingga mereka sangat bergantung terhadap alam dan ilkim. Khusunya peranan perikanan sebagai suatu kebutuhan pangan. Manusia Wajakinesis juga sudah mengenal tombak sebagai suatu alat berburu. 
Peninggalan pada masa manusia Wajakinesis juga berupa gua gua sebagai tempat berlindung mereka dari cuaca iklim yang tidak menentu dan serangan hewan buas. Didapat suatu peninggalan dalam gua tersebut berbagai alat-alat seperti tulang, batu, tanduk dan erang kerang dari perairan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia Wajakinesis pada saat itu sudah mengenal konsumsi hasil perairan berupa ikan atau kerang-kerangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Manusia wajak kebanyakan tinggal di daerah selatan Pulau Jawa dekat dengan khatulistiwa dan bertempat tinggal di dekat pesisir pantai. Manusia Wajak mengenal sumber daya alam perikanan sebagai mata pencaharian kebutuhan pangan pada saat itu, mereka mengkonsumsi ikan kerang-kerangan. Manusia Wajak bertempat tinggal dekat khatulistika disebabkan pada masa itu tejadi empat kali perubahan zaman es, dan kedaan Indonesiapada saat itu beriklim hujan yang berkepanjangan. 
Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di dekatnya. 
Manusia purba Wajakinesis memasuki Indonesia pada ± 2000 SM. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ± tahun 500 SM. 
Perubahan iklim dan topografi bumi yang terjadi baik diakibatkan karena erosi, pengangkatan kulit bumi dan vulkanis gunung berapi pada saat itu mengakibatkan perubahan zaman dan migrasi manusia purba pada saat itu. Letusan gunung berapi seperti Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Dompo mengakibatkan permukaan bumi naik baik daratan dan perairan sehingga menimbulkan tsunami yang sangat besar, sehingga mengakibatkan kelimpahan dan keanekaragaman perairan terganggu. Persitiwa tersebut membuat dampak pada tata kehidupan manusia purba,sehingga manusia Wajinesis melakukan migrasi besar-besaran. Manusia Wajak juga dikenal dikenal dengan pelaut karena berani mengaruhi samudra luas dengan hanya menggunakan perahu berupa sampan. 

2. Sejarah perdagangan etnis suku Bajini, Makasar pada abad 15 dan 16 
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe). 
Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. 
Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan sehari-hari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasil tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia. 
Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah. 
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia. Perkembangan perekonomian Indonesia pada masa Peradaban Kuno 
Sejarah perikanan merupakan suatu proses perjalanan panjang dari suatu peristiwa dimana hal tersebut terjadi di masa lampau dan memiliki pengaruh terhadap perkembangannya di masa sekarang ini. Sejarah perikanan di Inonesia mengalami perkembangan significant dimana perkembangan tersebut terjadi sejak zaman pra-sejarah hingga modern dan memiliki peranan penting terhadap keadaan perikanan di zaman globalisasi ini. Perkebangan tersebut diantara lain dari sector ekonomi, politik, teknologi penanganan hasil perikanan, industri perikanan, dan juga social masyarakat. 
Umumnya perikanan tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia dikarenakan perikanan memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomis tersebut diantara lain sebagai bahan pangan masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu perikanan tumbuh di sekitar masyarakat pesisir dimana pada waktu itu kebutuhan pangan dari hasil perikanan di dapat dari penangkapan ikan di laut dengan teknologi yang primitive yaitu alat tangkap yang terbuat dari bambu atau jaring dari bahan serat tumbuhan, dan mengalami perkembangan budidaya ikan. Pada abad ke 15-16 terdapat beberapa kelompok perintis perdagangan teripang dan throcus yaitu suku Bajini,Makasar,Bugis, dan Bajo. Sedangkan di wilayah timur sudah ada perdagangan mutiara pada tahun 1870-1900. Lokasi Indonesia yang merupakan jalur perdagangan dari laut oleh bangsa eropa memungkinkan bahwa Indonesia memiliki pelabuhan strategis yang dimanfaatkan sebagai alur kegiatan perdagangan perikanan pada saat itu. Pada zaman kuno juga terjadi hasil perikanan berupa ikan, kerang, atau lainnya dijadikan alat pertukaran (barter) untuk menukarkan sesuatu yang sama bernilainya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan lainnya. 
Mayarakat Inonesia semakin bertambah demikian pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat, hal ini memiliki dampak terhadap perkembangan perikanan di Inodonesia. Nilai kebutuhan pangan perikanan terhadap masyarakat Indonesia berkembang menjadi kegiatan perikanan ke arah komersial dengan tujuan menyalurkan atau menyuplai hasil perikanan ke wilayah-wilayah terpelosok dari wilayah pesisir dengan teknologi penanganan perikanan yaitu pengawetan. Untuk menjaga sumber daya alam perikanan tetap stabil dimana jumlah produksitivitas sumber daya perikanan tetap sama dengan eksploitasi sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan dibutuhkan pengelolaan sumber daya perikanan . Pengelolaan tersebut menjadi usaha budidaya ikan dan industri pengolahan hasil perikanan 
Perkembangan perikanan yang bermula pada suatu kebutuhan pangan dan berkembang menjadi budidaya dan pengolahan, pengawetan, industry, dan kemajuan teknologi akan menghasilkan pengaruh besar terhadap ekonomi, social, politik, dan hokum. Sehingga tidak hanya menjadi perikanan dalam skala local di Inonesia tetapi menjadi globalisasi perikanan dunia. 

3. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa penjajahan 
Dibukanya suatu perdagangan laut melalui pelabuhan yang terdapat di Selat Malaka memungkin suatu perdagangan di dekat pelabuhan dengan menggunakan hasil laut perikanan untuk diperdagangkan. 
Jatuhnya konstatinopel pada abad lalu memutuskannya jalur darat ke perdagangan timur, sehingga Bangsa Eropa memiliki jalur alternative perdagangan dengan menggunakan jalur Laut. 
Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia diawali oleh Bangsa Portugis. Bangsa Eropa memonopoli rempah-rempah dan hasil alam launnya baik pertanian, perkebunan, dan tentunya dalam bidang perikanan. 
Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di Gresik dan kolam-­ kolam ikan di Jawa Barat. 
Pada masa penjajahan kolonial Belanda usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157 Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396 Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai. 

4. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa kemerdekaan 
Perkembangan ekonomi perikanan pada masa kemerdekaan tidak terlalu maju secara significant, hal tersebut dikarenakan pemerintah Indonesia sendiri membuat suatu rencana dan aturan turan hukum yang baru sesuai dengan pengamalan Pancasila setelah terbebas dari penjajahan Belanda. Hukum dan aturan tersebut ditujukan untuk pembangunan dan pengaturan ekonomi perikanan di Indonesia kedepannya secara berkelanjutan. 

5. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa orde baru 
Pada masa zaman orde baru pada pemerintahan Soeharto dititik beratkan dengan pembangunan pertanian, kelautan, perairan, peternakan. Hal ini diwujudkan agar selepas dari penjajahan Belanda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 diwujudkan Bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang mandiri. 
Beberapa pembanganan dan kebijakan pada masa orde baru dengan menetapkan Pembangunana Jangka Panjang (PJP) pada bidang pertanian, kelautan, perairan, dan peternakan. Pembanguanan perikanan atau pengairan suatu upaya memanfaatkan sumber daya lahan dan air, serta sumber daya hayati secara produktif dengan berkelanjutan. Hal tersebut tertera pada perundanganundangan di Indonesia yaitu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. Upaya di bidang perikanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, bahan baku industri, ekspor, dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin pembangunan yang berkesinambungan. 
Pada masa orde baru, pengelolaan perikanan, pembangunan ditunjukan untuk memperbaiki secara aspek kehidupan perekonomian bangsa secara murni dan konsekuen pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 dengan mengupayakan usaha stabilisasi dan rehabilitasi, pembentukan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan devisa negara. 
Pada masa sebelum Orde Baru pembangunan perikanan berkembang sangat lambat. Daerah penangkapan ikan yang sangat luas belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat gizi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa. Kondisi nelayan dan kehidupan masyarakat desa pantai juga sangat memprihatinkan. 
Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). 
Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. 
Usaha perikanan berkembang makin pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara. 
Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi. 
Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan Undang­undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan di beberapa tempat telah menunjukkan tanda-tanda melebihi daya dukung alam, sehingga untuk menjamin hasil perikanan yang optimum dan lestari, pada tahun 1985 ditetapkan total penangkapan yang diperkenankan (Total Allowable Catch/TAC). 
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perlakuan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan azas manfaat, peradilan, kemitraan, pemerataan, keterbukaan, keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. 
Selama PJP I produksi perikanan telah tumbuh dengan cepat, yaitu dari 1,2 juta ton pada awal PJP I menjadi 3,8 juta ton pada akhir PJP I. Produksi perikanan laut meningkat sebanyak 4 kali menjadi 2,9 juta ton dengan jumlah kapal 389.498 buah. Produksi ikan budidaya meningkat 5 kali menjadi 574 ribu ton, sedangkan dari perairan umum peningkatannya masih kecil, yaitu dari 320 ribu ton menjadi 335 ribu ton. Jumlah tenaga kerja yang berkecimpung dalam subsektor perikanan sekitar 2,1 juta orang. 

6. Perkembangan perekonomian perikanan pada masa era-reformasi 
Sampai saat ini potensi sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ton per tahun, terdiri atas sekitar 4,4 juta ton di perairan Indonesia dan 2,3 juta ton di perairan ZEEI. Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut secara keseluruhan telah mencapai sekitar 41 persen. Potensi perairan umum seperti danau, waduk, rawa, sungai, dan genangan air lainnya mencapai areal sebesar 14 juta hektare, dengan tingkat pemanfaatan sekitar 35 persen. Potensi budidaya tambak adalah sekitar 830 ribu hektare, dengan tingkat pemanfaatan mencapai 37 persen. 
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya perikanan, saat ini telah ada 28 unit galangan kapal milik swasta dan BUMN yang mampu membuat kapal penangkap ikan berukuran 30-250 GT. Di samping itu, di berbagai daerah di wilayah Indonesia ditemui banyak galangan kapal tradisional atau perajin-perajin pembuat perahu kayu. Sampai dengan tahun 1993 jumlah pelabuhan perikanan yang telah dibangun mencapai 32 buah dan pangkalan pendaratan ikan mencapai 560 buah. 
Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif kecil, sekitar 2,5 per sen. Namun peran sektor ini dalam pembangunan bangsa sejatinya cukup signifikan. Jumlah nelayan dan petani ikan yang hidup tersebar di seluruh Nusantara sebanyak 3,7 juta dan 1,8 juta orang. Sementara itu, saudara-saudara kita yang bekerja di berbagai sektor penunjang perikanan, seperti industri peralatan dan mesin perikanan, industri pakan ikan, galangan kapal, pabrik es, cold storage, industri pengolahan hasil perikanan, jasa transportasi dan keuangan, mencapai 1,5 juta orang. Devisa yang dihasilkan dari ekspor produk perikanan juga lumayan besar, sekitar US$ 2,5 miliar setiap tahunnya. Belum lagi, peran saudara-saudara nelayan kita yang turut menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah laut Indonesia. 
Produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan sepanjang tahun 2000 hingga 2006 sebesar 2,74%, yaitu pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton bertambah menjadi 4.468.010 ton (2006). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5.12 juta ton, produksi tahun 2006 87,27% dari JTB. Kenaikan jumlah nelayan berflukuasi hingga pada tahun 2000 mencapai 2.486.456 jiwa, menurun menjadi 2.060.620 jiwa (2006). Jumlah produksi perikanan tangkap di laut disebabkan bertambahnya armada tangkap nasional. Perode 2000-2006 jumlah perahu mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,74%, yaitu 449.558 hingga 555.950. 
Pada tataran global, Indonesia juga merupakan salah satu kekuatan utama perikanan dunia. Pasalnya, dari total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut dunia sebesar 90 juta ton/tahun, sekitar 7,5% (6,4 juta ton/tahun) terdapat di wilayah laut Indonesia. Kalau pada 1999 (sebelum ada DKP) Indonesia merupakan produsen ikan terbesar ketujuh di dunia, maka sejak 2004 hingga kini bertengger pada posisi kelima dengan total produksi 7,5 juta ton per tahun (FAO, 2008). Lebih dari itu, sebagai pusat segi tiga karang dunia dan lokasi pertukaran dua masa arus laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebailknya, laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) yang sangat menentukan kelestarian produksi perikanan laut dunia. 
Sebelum era Reformasi, perhatian kita terhadap bidang kelautan, khususnya perikanan, sangatlah rendah. Selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, kredit perbankan yang dikucurkan untuk usaha perikanan hanya sebesar 0,02% dari total kredit usaha. Pada tahun 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. 
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan (4 pelabuhan perikanan samudera dan 13 pelabuhan perikanan nusantara). Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai. Cara-cara kita mengelola perikanan pun pada umumnya kurang profesional dengan penerapan IPTEK yang rendah, tidak terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, eksploitatif dan kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya ikan serta ekosistemnya, dan cenderung membiarkan penjarahan ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing. 
Ketidakseriusan dalam mengelola sektor perikanan itu telah mengakibatkan mayoritas nelayan (60%) terlilit kemiskinan; praktek illegal fishing merajalela dengan kerugian negara sedikitnya US$ 4 miliar/tahun; beberapa stok ikan di berbagai wilayah perairan seperti Selat Malaka, Pantura, Selat Bali, dan Selatan Sulawesi mengalami overfishing; perikanan budidaya tidak berkembang optimal; dan industri pengolahan hasil perikanan kurang berdaya saing.

(Perikanan) UNPAD

100 reason why brad pitt still love jen

Diposting oleh rahma tri benita di 02.33 0 komentar
brad pitt love jennifer aniston for 8 years ago

Sabtu, 21 April 2012

A story " Bai Fang Li"

Diposting oleh rahma tri benita di 21.47 0 komentar
The world is beautiful when we share each other, the world will be peaceful when we respect one of other, the story of someone who has the generosity and not thinking of himself to the world that he dreamed.  Kisah Bai Fang Li ini saya harap menjadi pelajaran hidup bagi kita semua untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan, walaupun hidup serba pas-pasan tetapi tetap membantu orang tanpa pamrih


Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak ada. Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.


Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.


Tersentuh…
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Tak Menuntut Apapun…
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.
saya menyebutnya sebagai orang tersukses di dunia adalah karena beliau berguna bagi orang orang di sekitarnya,karena menurut saya sukses itu bukan seberapa berlimpahkah harta atau jabatan yang kita punya melainkan,seberapa bergunanya kita bagi orang lain disekitar kita,terima kasih dan selamat malam
Diposting oleh rahma tri benita di 21.34 0 komentar
i like Jon Schmidt because he is make a beautifull song in his own ways :) cek it out guys, enjoyed :)

Bioekonomi Perikanan ??

Diposting oleh rahma tri benita di 20.58 0 komentar
Bioekonomi merupakan suatu kajian khusus dimana diperlukan beberapa aspek antara lain ekonomi dan biologi. Aspek biologi itu sendiri diperlukan konsep laju pertumbuhan alami ikan dimana laju pertumbuhan dipengaruhi oleh titik keseimbangan daya dukung lingkungan atau biasanya disebut dengan K carrying capacity. Aspek kedua tersebut harus berkesinambungan satu sama lain untuk mengetahui analisis tingkat kelestarian sumber daya alam khususnya perikanan (rente ekonomi) sehingga diperoleh kebijakan atau pengelolaan sumber daya ikan secara tepat dan efisien. Sumber daya ikan khususnya perikanan merupakan sumber daya alam yang bersifat dapat pulih atau flows akan tetapi jika sumber daya alam tersebut terus tereksploitasi atau diekstraksi terus menurus akan menjadi sumber daya alam yang bersifat stock terbatas ketersediannya di perairan. Sifat dari perikanan kedua adalah bersifat open acces dan tidak dapat terlihat secara jelas ketersediaanya di lingkungan perairan. Bersifat oppen acces karena sumber daya tersebut bersifat public owners dimana hak dari sumber daya alam tersebut dapat terlihat secara jelas apabila sumber daya tersebut ditangkap. Secara sistematik kurva pertumbuhan ikan dimana, laju pertumbuhan ikan atau r besarnya tergantung dengan dinamika stok ikan itu sendri sebelumnya. Secara rumus adalah r = (Xt+1-Xt)/Xt. Laju pertumbuhan perikanan naik seimbang dengan penurunan (decline) laju pertumbuhan tersebut. Dimana laju pertumbuhan ½ dari titik kesetimbangan carrying capacity. Akibat penangkapan sebesar h maka laju pertumbuhan dapat terbaca. Daya tangkap dr eksploitasi sda dibawah kurva pertumbuhan akan mengakibatkan stock ikan masih di titik stabil, sebaliknya jika penangkapan diatas dr laju pertumbuhan sda. Teori Gordon Schaefer yaitu aplikasi antara teori biologi dan ekonomi. Dimana jika effort atau upaya tangkap ikan sebesar E tidak seimbang dengan hasil tangkapan. Sebagai contoh jika effort dinaikan maka h atau catch tidak setinggi dengan pada h di titik msy tetapi jika effort di titik mey atau maksimum economic yield maka h catch lebih besar dibandingkan pada titik OA (Oppen acces) dan MSY (Maximum Sustainable Yield) sehingga ditimbulkan rente ekonomi yang optimal. Rente sendiri merupakan selisih antara ph dan cE. Pajak atau fax ditujukan untuk memaksimalkan h pada titik MEY sehingga pajak atau kurva TC dinaikan sebesat Etax. Pajak tersebut adalah pajak terhadap input sedangkan jika pajak terhadap output maka tangkapan direndahkan sebesar h tax.

William James Sidis

Diposting oleh rahma tri benita di 20.57 0 komentar
Orang Terpintar di Dunia Bukan Einstein, Bukan Thomas Alva Edison. Tapi ialah William James Sidis. Pria berkewarganegaraan Amerika serikat. IQnya lebih dari IQ 250. William James Sidis Lahir pada 1 April 1898 dengan kemampuan matematika dan linguistik luar biasa. Ia menjadi yang pertama terkenal karena hal dewasa sebelum waktunya, dan kemudian untuk eksentrisitas dan penarikan dari mata publik. Dia menghindari matematika sepenuhnya di kemudian hari, menulis pada mata pelajaran lainnya berdasarkan sejumlah nama samaran.  Mengapa ia kurang dikenal dunia? Orang ini memang terlalu pintar. Ketika baru berusia 11 tahun, Ia sudah masuk Universitas. Ia menjadi siswa termuda di Universitas Harvard. Seumur hidupnya, Sidis telah menguasai 200 bahasa di Dunia. Bahkan, Ia menghafal 1 jenis bahasa secara keseluruhan hanya dalam waktu 1 hari. Kepintarannya yang luar biasa membuatnya gila. Ia tak punya teman atau pacar. Bahkan ia pergi dari rumah, meninggalkan keluarganya dan mengasingkan diri. Ia meninggal pada usia 46 tahun dalam keadaan menganggur, terasingkan, dan amat miskin.


Berikut Kisah orang terpintar di dunia William James Sidis



Keluarga dan Pendidikan (1898-1909)William James Sidis dilahirkan untuk imigran Ukraina Yahudi pada tanggal 1 April 1898, di New York City. Ayahnya Boris Sidis, Ph.D., MD, telah beremigrasi pada tahun 1887 untuk menghindari penganiayaan politik. Ibunya Sarah Mandelbaum Sidis, MD, dan keluarganya telah melarikan diri dari pogrom pada tahun 1889. Sarah dihadiri Boston University dan lulus dari Sekolah Kedokteran pada tahun 1897. Boris meraih gelar di Harvard University, dan psikologi mengajar di sana. Dia adalah seorang psikiater, dan diterbitkan berbagai buku dan artikel, melakukan pekerjaan perintis dalam psikologi abnormal. Boris adalah seorang poliglot dan putranya William akan menjadi salah satu di usia muda.

Sidis bisa membaca New York Times di 18 bulan, dan telah dilaporkan belajar sendiri delapan bahasa (Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia) pada usia delapan tahun, dan menemukan yang lain, yang ia sebut Vendergood. (Harvard dan kehidupan kampus :1909-1915)pada usia sembilan tahun sidis di tolak pendaftarannya sebagai mahasiswa oleh universitas karena dia masih anak-anak, Meskipun Universitas sebelumnya menolak ayahnya untuk mendaftarkan sidis, tetapi pada tahun 1909 dengan menjadi orang termuda untuk mendaftar di Harvard College. pada saat itu sidis berumur 11 tahun, dan masuk ke Harvard University sebagai siswa program berbakat awal. dalam program ini adalah kelompok eksperimen termasuk matematikawan Norbert Wiener, Richard Buckminster Fuller, dan komposer Roger Sesi. Pada tahun 1910 awal, penguasaan Sidis tentang matematika yang lebih tinggi sehingga dia mengajar Matematika Harvard Club pada tubuh empat-dimensi MIT profesor Daniel F. Comstock. Memprediksi bahwa Sidis akan menjadi seorang matematikawan besar dan pemimpin dalam ilmu yang di masa depan. Sidis mulai mengambil beban program studi penuh waktu pada tahun 1910 dan memperoleh gelar Sarjana Seni, cum laude, pada tanggal 18 Juni 1914, pada usia 16.Tak lama setelah lulus, Sidis mengatakan kepada wartawan bahwa ia ingin menjalani hidup yang sempurna, yang menurutnya berarti hidup dalam pengasingan. hal ini disampaikan pada wawancara kepada wartawan dari Boston Herald. Makalah ini melaporkan Sidis's sumpah untuk tetap hidup sendiri dan tidak pernah menikah, ketika ia berkata perempuan tidak menarik bagi dia. Kemudian ia mengembangkan kasih sayang yang kuat untuk seorang wanita muda bernama Martha Foley. Ia kemudian mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and Sciences.

Pengajaran dan pendidikan lebih lanjut (1915-1919)Setelah sekelompok mahasiswa Harvard terancam kemampuan Sidis, kemudian dia bekerja di Institut William Marsh Rice untuk Kemajuan Sastra, Sains, dan Seni (sekarang Rice University) di Houston, Texas sebagai asisten mengajar matematika. Ia tiba di Rice pada bulan Desember tahun 1915 di usia 17. Dia adalah seorang pria lulusan bekerja untuk gelar doktornya.Sidis mengajar tiga kelas: geometri Euclidean, geometri non-Euclidean, dan trigonometri (dia menulis sebuah buku untuk kursus geometri Euclid dalam bahasa Yunani). Setelah kurang dari satu tahun, sidi frustrasi dengan departemen, persyaratan mengajar, dan perlakuan oleh mahasiswa lebih tua dari dia, Sidis meninggalkan posnya dan kembali ke New England. kepergiannya dikarenakan kebingungannya yang disebabkan tidak ada tempat bertanya bagi Sidis. Sidis meninggalkan pekerjaannya dan mengejar suatu gelar sarjana dalam matematika dan terdaftar di Harvard Law School pada bulan September 1916, namun mengundurkan diri dalam performa dan nilai yang baik di tahun terakhir di bulan Maret 1919. Politik dan penangkapan (1919-1921)Pada tahun 1919, tak lama setelah penarikan dari sekolah hukum, Sidis ditangkap karena berpartisipasi dalam parade Hari sosialis Mei di Boston yang berubah menjadi kekerasan. Dia dijatuhi hukuman 18 bulan penjara berdasarkan Undang-Undang penghasutan tahun 1918. Penangkapan Sidis menonjol di surat kabar, sebagai awal lulus dari Harvard mengumpulkan selebriti lokal yang cukup. dan selama persidangan, Sidis menyatakan bahwa ia telah menjadi penentang teliti dari rancangan Perang Dunia I, ateis, dan seorang sosialis (Dia kemudian mengembangkan sendiri filosofi kekuasaan "libertarianisme" berdasarkan pada hak-hak individu. dan kelangsungan sosial di Amerika.

Ayah sidis diperintahkan oleh jaksa wilayah untuk menjaga Sidis setelah keluar dari penjara sebelum banding ke pengadilan. orang tua sidis menahannya di sanatorium di New Hampshire untuk 1 tahun. dan kemudian Mereka membawanya ke California, di mana dia menghabiskan satu tahun lagi. Sementara di sanatoriumOrang tuanya mengatur tentang perubahan pada diri Sidis dan mengancam Sidis dengan transfer ke sebuah rumah sakit jiwa.

Akhir kehidupan Sidis (1921-1944)Setelah kembali ke Pantai Timur pada tahun 1921, Sidis memutuskan untuk menjalani hidup mandiri dan pribadi. Dia hanya mengambil bekerja menjalankan mesin menambahkan atau tugas-tugas yang cukup kasar lainnya. Dia bekerja di New York City dan menjadi terasing jauh dari orang tuanya. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum ia dibebaskan secara hukum untuk kembali ke Massachusetts, dan ia prihatin tentang risiko nya penangkapan selama bertahun-tahun. kemudian Sidis mengumpulkan transfer trem, majalah diterbitkan, dan mengajarkan lingkaran kecil teman-teman tertarik versi tentang sejarah Amerika..Pada tahun 1944, Sidis memenangkan penyelesaian dari The New Yorker untuk sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1937. Dia telah dituduhkan itu berisi laporan palsu. dengan judul "Where Are (Mereka Sekarang)?". Artikel pseudonim menggambarkan kehidupan Sidis sebagai kesepian, dalam sebuah kamar tidur ruang di Akhir kumuh Selatan Boston. Lower pengadilan setelah Sidis diberhentikan sebagai tokoh publik dengan tidak berhak untuk menantang publisitas pribadi. Ia kehilangan banding atas invasi privasi gugatan di Amerika Serikat Pengadilan Banding untuk Sirkuit Kedua pada tahun 1940 atas artikel yang sama. Hakim Charles Edward Clark menyatakan simpati untuk Sidis-yang mengklaim bahwa publikasi telah terkena dia untuk ejekan publik menghina, dan penghinaan dan menyebabkan dia menderita beban mental karena penghinaan. kemudian sidis mengungkapkan bahwa pengadilan tidak untuk hal kehidupan pribadi yang memiliki kekebalan absolut dari pada hanya mencongkel pers.

Beberapa hasil karya Sidis adalah tulisan-tulisan tentang kosmologi, untuk sejarah Amerika India, taksonomi komprehensif dan definitif transfer kendaraan (sebuah studi yang sama yang komprehensif dari teknik sipil dan kendaraan) dan beberapa teks yang hilang baik dibuktikan pada antropologi, filologi, dan sistem transportasi, Sidis meliputi luas berbagai mata pelajaran. Beberapa ide-idenya yang bersangkutan berbaliknya kosmologis, kontinuitas sosial, dan tentang hak-hak individu di Amerika Serikat.Dalam Animate dan mati (1925), Sidis meramalkan adanya daerah ruang dimana hukum kedua termodinamika dioperasikan secara terbalik dengan arah temporal yang kita alami di daerah lokal. Semuanya di luar apa yang sekarang kita sebut galaksi itu akan menjadi seperti suatu daerah. Sidis mengklaim bahwa masalah di wilayah ini tidak akan menghasilkan cahaya. (Ini bagian gelap alam semesta tidak benar materi gelap atau lubang hitam seperti yang biasa digunakan dalam kosmologi kontemporer.) Ini bekerja pada kosmologi, berdasarkan teori reversibilitas dari hukum kedua termodinamika adalah ini adalah satu-satunya buku diterbitkan di bawah namanya. Sidis The suku dan Amerika (1935) menggunakan nama samaran "John W. Shattuck," memberikan sejarah tahun 100.000 penduduk Amerika Utara, dari zaman prasejarah sampai 1828. Dalam teks ini, ia menunjukkan bahwa "ada laki-laki merah pada satu waktu di Eropa maupun di Amerika ".Sidis juga seorang "peridromophile," istilah yang dia diciptakan untuk orang-orang terpesona dengan penelitian transportasi dan sistem trem. Dia menulis sebuah risalah pada transfer trem dengan nama samaran dari "Frank Folupa" yang diidentifikasi berarti peningkatan penggunaan transportasi umum.Pada tahun 1930, Sidis mendapat paten untuk kalender abadi berputar yang mengambil ke dalam tahun kabisat akun. Pada Saat Sidis dewasa diperkirakan bahwa ia bisa berbicara lebih dari empat puluh bahasa, dan belajar bahasa baru dalam satu hari.

Karya lainnya adalah Sidis menciptakan sebuah bahasa terkonstruksi disebut Vendergood dalam buku kedua, berjudul Kitab Vendergood yang ditulisnya pada usia delapan. Bahasa sebagian besar didasarkan pada Latin dan Yunani, tetapi juga menarik pada Jerman dan Perancis dan lainnya Romance languages Ini dibedakan antara delapan konjugasi berbeda yaitu indikatif, potensi, keharusan mutlak, subjungtif, imperatif, infinitive, optatif, dan Sidis sendiri strongeable. Vendergood dipekerjakan basis-12 sistem angka, karena, seperti Sidis menjelaskan, "Unit dalam menjual sesuatu adalah 12 dari puluhan dan 12 adalah jumlah terkecil yang memiliki empat faktor!"

Orang Terpintar di Dunia - William James Sidis meninggal pada tahun 1944 karena pendarahan otak di Boston pada usia 46 Tahun. Sidis meninggal karena penyakit yang sama menimpa Ayahnya pada tahun 1923 pada usia 56 Tahun.
 
Powered by Blogger